Sistem Sosial Budaya Indonesia
Sistem
Sosial Budaya Indonesia
|
Implikasi Sistem Sosial Budaya
|
Chapter 5
|
25. PENGARUH SISTEM
BUDAYA MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN SOSIAL
Seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang banyak membawa
perubahan terhadap kehidupan manusia baik dalam hal perubahan pola hidup maupun
tatanan social termasuk dalam bidang kesehatan yang sering dihadapkan dalam
suatu hal yang berhubungan langsung dengan norma dan budaya yang dianut oleh
masyarakat yanag bermukim dalam suatu tempat tertentu.
Pengaruh
social budaya dalam masyarakat memberikan peranan penting dalam mencapai
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Perkembangan social budaya dalam
masyarakat merupakan suatu tanda bahwa masyarakat dalam suatu daerah tersebut
telah mengalami suatu perubahan dalam proses berpikir. Perubahan social dan budaya bias memberikan
dampak positif maupun negatif.
Hubungan
antara budaya dan kesehatan sangatlah erat hubungannya, sebagai salah satu
contoh suatu masyarakat desa yang sederhana dapat bertahan dengan cara
pengobatan tertentu sesuai dengan tradisi mereka. Kebudayaan atau kultur dapat
membentuk kebiasaan dan respons terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala
masyarakat tanpa memandang tingkatannya. Karena itulah penting bagi tenaga
kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat mereka
mengerti tentang proses terjadinya suatu penyakit dan bagaimana meluruskan keyakinan
atau budaya yang dianut hubungannya dengan kesehatan.
IDENTIFIKASI MASALAH
Dalam perkembangannya pengobatan tradisional
menimbulkan berbagai masalah pada era saat ini, yaitu :
- Banyaknya masyarakat yang sudah melupakan pengobatan tradisional
dan lebih memilih pengobatan medis (untuk penyakit ringan)
- Kurangnya pengembangan terhadap pengobatan tradisional
- Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pengobatan tradisional
karena factor banyaknya kasus penipuan yang mengatasnamakan pengobatan
tradisional
Rumusan Hipotesis
Dengan adanya pengobatan medis yang terkadang jauh lebih diminati oleh
sebagian masyarakat dan banyaknya masyarakat yang melupakan adanya pengobatan
tradisional yang memiliki dampak positif maupun negative, maka perlu adanya
tindakan-tindakan yang dapat dilakukan yaitu:
- Menambah pengetahuan tentang banyaknya
pengobatan tradisional yang banyak manfaatnya untuk kesehat
- Mengikuti seminar tentang kesehatan,
khususnya mengenai pengobatan tradisional
- Banyak membaca buku atau artikel tentang
pengobatan
Pengertian Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan,
jiwa, dan social yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara social
dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan
gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan perawatan
termasuk kehamilan dan persalinan. Pendidikan kesehatan adalah proses membantu
seseorang dengan bertindak secara sendiri-sendiriataupun secara kolektif, untuk
membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal yang mempegaruhi
kesehatan pribadinya dan orang lain
Definisi yang bahkan lebih sederhana diajukan
oleh Larry Green dan para koleganya yang menulis bahwa pendidikan kesehatan
adalah kombinasi pengalaman belajar yang dirancang untuk mempermudah adpatasi
sukarela terhadap perilaku yang kondusif bagi kesehatan. Data terakhir
menunjukkan bahwa saat ini lebih dari 80 persen rakyat Indonesia tidak mampu
menda[at jaminan kesehatan dari lembaga atau perusahaan dibidang pemeliharaan
kesehatan, seperti Akses, Taspen, dan Jamsostek. Golongan masyarakat yang
dianggap ‘teranaktirian’ dalam hal
jaminan kesehatan adalah mereka dari golongan masyarakat kecil dan pedagang.
Dalam pelayanan kesehatan tidak saja terkait beberapa kelompok manusia, tetapi
juga sifat yang khusus dari pelayanan kesehatan itu sendiri.
UU
No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa: Kesehatan adalah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa dan social yang memungkinkan hidup produktif secara
social dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat
sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri
dari unsure-unsur fisik, mental dan social dan di dalamnya kesehatan jiwa
merupakan bagian integral kesehatan.
Kebudayaan dan Pengobatan Tradisional
Masing-masing kebudayaan memiliki berbagai pengobatan
untuk penyembuhan anggota masyarakatnya yang sakit. Berbeda dengan ilmu
kedokteran yang menganggap bahwa penyebabMasing-masing kebudayaan memiliki
berbagai pengobatan untuk penyembuhan anggota masyarakatnya yang sakit. Berbeda
dengan ilmu kedokteran yang menganggap bahwa penyebab penyakit. Pada masyarakat
tradisional, tidak semua penyakit itu disebabkan oleh penyebab biologis.
Kadangkala mereka menghubung-hubungkan dengan sesuatu yang gaib, sihir, roh,
jahat atau iblis yang mengganggu manusia dan menyebabkan sakit.
Banyaknya suku di Indonesia menganggap bahwa
penyakit itu timbul akibat guna-guna. Orang yang terkena guna-guna akan
mendatangi meminta pertolongan. Masing-masing suku di Indonesia memiliki dukun
atau ketua adat sebagai penyembuh orang yang terkena guna-guna tersebut. Cara
yang digunakan juga berbeda-beda masing-masing suku. Begitu pula suku-suku di
dunia, mereka menggunakan pengobatan tradisional masing-masing untuk
menyembuhkan anggota sukunya yang sakit.
Suku Azande di Afrika Tengah mempunyai
kepercayaan bahwa jika anggota sukunya jari kakinya tertusuk sewaktu sedang
berjalan melalui jalan biasa dan dia terkena penyakit tuberculosis maka dia
dianggap terkena serangan sihir. Penyakit itu disebabkan oleh serangan tukang
sihir dan korban tidak akan sembuh sampao serangan itu berhenti.
Orang Kwakuit dibagian barat Kanada percaya
bahwa penyakit dapat disebabkan oleh dimasukkannya benda asing kedalam tubuh
dan yang terkena dapat mencari pertolongan ke dukun. Dukun itu biasa disebut Shaman. Dengan suatu upacara penyembuhan
maka Shaman akan mengeluarkan benda asing itu dari tubuh pasien
Konsep Sehat dan Sakit Menurut Budaya Masyarakat.
Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak
terlalu mutlak dan universal karena ada factor-faktor lain diluar kenyataan
klinis yang mempengaruhinya terutama factor social budaya. Kedua pengertian
saling mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks
pengertian yang lain.
Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi,
sosiologi, kedokteran, dan lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba
memberikan pengerian tentang konsep sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing
disiplin ilmu. Masalah sehat da sakit merupakan proses yang berkaitan dengan
kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan baik secara
biologis, psikologis maupun sosio budaya.
Definisi sakit: seseorang dikatakan sakit
apabila ia menderita penyakit menahun (kronis), atau gangguan kesehatan lain
yang menyebabkan aktivitas kerja/kegiatannya terganggu. Walaupun seseorang
sakit (istilah sehari-hari) seperti masuk angin, pilek, tetapi bila ia tidak
terganggu untuk melaksanakan kegiatannya, maka ia dianggap tidak sakit.
Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks
yang merupakan resultante dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat
alamiah maupun masalah buatan manusia, social budaya, perilaku, populasi
penduduk, genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan masyarakat yang disebut
sebagai psycho socio somatic health well being, merupakan resultante dari 4
faktor yaitu:
- Environtment atau lingkungan
- Behavior atau perilaku, antara yang pertama dan kedua dihubungkan
dengan ecological balance.
- Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh ppulasi, distribusi
penduduk, dan sebagainya.
- Health care service berupa program kesehatan yang bersifat
preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitative.
Dari keempat factor tersebut, lingkungan dan
perilaku merupakan factor yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap
tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Tingkah laku sakit, peranan
sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh factor-faktor seperti kelas
social, perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama,
bergantung dari variable-variable tersebut dapat menimbulkan reaksi yang
berbeda dikalangan pasien.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pengobatan dalam Masyarakat
Menurut Notoadmodjo juga merupakan mengikut
teori Green (1980), perilaku ini dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu:
- Factor predisposisi yang mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan kesehatan, system nilai yang dianuti masyarakat,
tingkat pendidikan, tingkat social ekonomi dan sebagainya.
- Factor pemungkin yang mencangkup ketersediaan sarana dan
prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat contohnya fasilitas
pelayanan kesehatan.
- Factor penguat pula mencangkup pengaruh sikap dan perilaku tokoh
yang dipandang tinggi oleh masyarakat contohnya tokoh masyarakat dan tokoh
agama, sikap dan perilaku para petugas yang sering berinteraksi dengan
masyarakat.
Aspek social (mitos) yang berkembang
dimasyarakat:
- Dukun sebagai penyembuh
- Timbulnya penyakit sebagai pertanda
- Kesehatan anak juga dipengaruhi oleh factor budaya dan social.
Solusi Peranan Pengobatan Tradisional Dalam Pelayanan Kesehatan
- Pengobatan tradisional perlu dikembangkan dalam rangka
peningkatan peran serta masyarakat dalam pelayanan kesehatan primer.
- Pengobatan tradisional perlu dipelihara dan dikembangkan sebagai
warisan budaya bangsa, namun perlu membatasi praktek-praktek yang
membahayakan kesehatan.
- Dalam rangka peningkatan peran pengobatan tradisional, perlu
dilakukan penelitian, pengujian dan pengembangan obat-obatan dan cara-cara
pengobatan tradisional
- Pengobatan tradisional sebagai upaya kesehatan nonformal tidak
memerlukan izin, namun perlu pendataan untuk kemungkinan pembinaan dan
pengawasannya.
- Pengobatan tradisional yang berlandaskan pada cara-cara
organobiologik, setelah diteliti, diuji dan diseleksi dapat diusahakan
untuk menjadi bagian program layanan kesehatan primer
- Pengobatan tradisional tertentu yang mempunyai keahlian khusus
dan menjadi tokoh masyarakat dapat dilibatkan dalam upaya kesehatan
masyarakat khususnya sebagai komunikator antara pemerintah dan masyarakat.
Untuk menyimpulkan pandangan-pandangan
mengenai pengobatan tradisional, saya yakin bahwa jika dinilai dari banyak
fungsi yang diharapkan dapat memenuhi oleh pengobatan dan
keterbatasan-keterbatasan yang ada pada penelitian medis yang sistematik dalam
masyarakat-masyarakat tersebut, maka ssistem-sistem medis tradisional, yang
dilihat sebagai sarana adaptif telah berhasil dengan baik.
Saya juga percaya bahwa pengobatan tradisional
beda dengan pengobatan ilmiah baik dari aspek-aspek preventif dan, klinisnya,
serta semua kekurangan dalam perawatan kesehatannya maka pengobatan tradisional
adalah cara kurang memuaskan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan dari penduduk
masa kini. Hal ini bukanlah merupakan penilaian utama.
26.
Permasalahan Pendidikan Di Indonesia
Kualitas
pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara
lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia
(Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan,
kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks
pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia,
Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan
ke-109 (1999).
Menurut survei
Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia
berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di
bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000),
Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37
dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga
yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin
teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad
ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan
disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak
disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di
Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya
adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka.
Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa
Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia
yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan
negara lain.
Yang kita
rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik
pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita
membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang
dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh
karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang
tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita
amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan
di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan,
baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan
rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang
mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di
berbagai bidang.
Kualitas
pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003)
bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang
mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari
20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat
pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036
SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam
kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas,
efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah
pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia
pendidikan yaitu:
(1)
Rendahnya sarana fisik,
(2)
Rendahnya kualitas guru,
(3)
Rendahnya kesejahteraan guru,
(4)
Rendahnya prestasi siswa,
(5)
Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6)
Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7)
Mahalnya biaya pendidikan.
Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan menjadi bahan bahasan
dalam makalah yang berjudul “ Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia” ini.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?
2.
Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
3.
Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia?
4.
Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari
permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia?
Tujuan
Penulisan
1.
Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
2.
Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat
ini.
3.
Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya
mutu pendidikan di Indonesia.
4.
Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari
permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia.
Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara
melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan
pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah
pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan
sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan
agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di
masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar
agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya.
Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para
siswa/mahasiswa.
Pengembangan
pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan
tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para
siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah,
menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang
telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini
terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru
tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada
siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi
guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali
guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain
berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai
pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini
dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur
mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana
pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di
Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk
di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang
benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan
mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya,
antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini
menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal
Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden
memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
·
Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni
meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di
Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
·
Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses
pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
·
Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan
kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam
ujian nasional.
·
Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis
pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan
tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
·
Langkah kelima, pemerintah berencana membangun
infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di
sekolah-sekolah.
·
Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran
pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
·
Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi
dalam aplikasi pendidikan.
·
Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk
bisa menikmati fasilitas penddikan.
Teori-teori Ilmu Pendidikan & Masalah Pendidikan di
Indonesia
Teori-teori yang
terdapat dalam ilmu pendidikan dilahirkan oleh 4 aliran yang berbeda, yaitu:
1.
Aliran Empirisme
2.
Aliran Nativisme
3.
Aliran Naturalisme
4.
Aliran Konvergensi
Dengan dasar
teori yang ada, dapat dijelaskan mengenai pengertian dan asal mulai pembentukan
teori tersebut, sebagai berikut:
Aliran
Empirisme
Aliran
Empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi
ekternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak
tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan.
Pengalaman yang duperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari di dapat dari dunia
sekitarnya yang berupa stimulan2. stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun
diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan. Tokoh perintis
pandangan ini adalahseorang filsuf Inggris bernama John Locke (1704-1932) yang
mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir kedua bagaikan kertas putih
yang bersih.
Aliran
empirisme dipandang berat sebelah, sebab hanya mementingkan peranan pengalaman
yang diperoleh dari lingkungan. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak
sejak lahir dianggap tidak menentukan. Pada hal kenyataannya dalam kehidupan
sehari-hari terdapat anak yang berhasil karena bakat, meskipun lingkungan
disekitarnya tidak mendukung.
Keberhasilan
ini disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal dari dalam diri berupa
kecerdasan atau kemauan keras, anak berusaha mendapatkan lingkungan yang dapat
mengembangkan bakat atau kemampuan yang ada dalam dirinya. Meskipun demikian,
penganut aliran ini masih tampak pada pendapat2 yang memandang manusia sebagai
mahluk yang pasif dan dapat dimanipulasi, umpamanya melalui modifikasi tingkah
laku. Hal ini tercermin dari pandangan scientific psychology dari
BF. Skinner ataupun pandangan behavioralisme lainnya.
Behavioralisme
itu menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya,
dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu sebagai hasil belajar semata-mata.
Meskipun demikian, pandangan behavioralisme ini juga masih bervariasi
dalam menentukan faktor apakah yang paling utama dalam proses belajar.
(1)
Pandangan yang menekankan peranan stimulus terhadap perilaku
seperti dalam “classical conditioning” atau “respondent learning”
oleh Ivan Pavlov (1836-1936) di Rusia dan Jon B. Watson (1878-1958) di Amerika
Serikat.
(2)
Pandangan yang menekankan peranan dari dampak ataupun
balikan dari suatu perilaku seperti dalam “operant conditioning”
atau “instrumental learning” dari Edward L. Thorndike (1874-1949)
dan Rurrhus F. Skinner (1904) di Amerika Serikat.
(3)
Pandangan yang menekankan peranan pengamatan dari imitasi
seperti dalam “observational learning” yang dipelopori oleh NE.
Miller dan J. Dollar dengan “social learning and imitation
(1941) kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh A. Bandura dengan “participant
modeling” maupun dengan “self efficiancy” (1982)
Aliran Nativisme
Aliran
Nativisme bertolak dari Leibnitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam
diri anak, sehingga faktor lingkungan, teramasuk faktor pendidikan kurang
berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan tsb ditentukan oleh
pembawaan yang sudah diperoleh sejak lahir.
Lingkungan
kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Hasil pendidikan
tergantung pada pembawaan. Seorang filsuf Jerman Schopenhauer (1788-1860)
berpendapat bahwa bayi itu lahir sudah lengkap dengan pembawaan baik ataupun
buruk.
Berdasarkan
pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak itu sendiri.
Ditekankan bahwa “yang jahat menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”. Pendidikan
yang tidak seusia dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan
berguna untuk perkembangan anak itu sendiri. Istilah nativisme dari asal
kata natie yang artinya adalah terlahir. Bagi nativisme,
lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam
mempengaruhi perkembangan anak. Pembawan tidak dapat dirubah dari kekuatan
luar.
Meskipun dalam
kenyataan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik)
dan juga mewarisi bakat2 yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu
bukanlah merupakan satu2nya faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan dan
perkembangan anak. Terdapat suatu pendapat aliran nativisme yang
berpengaruh luas yakni dalam diri individu terdapat suatu “inti” pribadi (G.
Leibnitz: monad) yang mendorong manusia untuk mewujudkan diri, mendorong
manusia dalam menentukan pilihan dan kemauan sendiri, dan yang menempatkan
manusia sebagai mahluk yang mempunyai kemauan bebas. Padangan tsb tampak dalam
humanistic psychology dari Carl R. Rogers atau pandangan
phenomenology/humanistik lainnya. Meskipun pandangan ini mengakui pentingnya
belajar, namun pengalaman dalam belajar itu ataupun penerimaan dan persepsi
seseorang banyak ditentukan oelh kemampuan memberi makna kepada apa yang
dialaminya itu. Dengan kata lain, pengalaman belajar ditentukan oleh “internal
frame of reference” yang dimilikinya. Pendekatan ini sangat mementingkan
pandangan holistik (menyeluruh, gestals), serta pemahaman perilaku orang dari
sudut pandang si empunya perilaku itu. Terdapat variasi pendapat dari
pendekatan phenomenology/humanistic tersebut sebagai berikut :
(1)
Pendekaran aktualisasi diri atau non direktif (Client
centered) dari Carl R. Rogers dan Abraham Maslow
(2)
Pendekatan “Personal Constructs” dari george A. Kelly
yang menekankan betapa pentingya memahami hubungan “ transaksional”
diantara manusia dan lingkungannnya sebagai bekal awal memahami perilakunya.
(3)
Pendekatan “Gestalt” baik yang klasik (Max
Wertheimer dan Wolgang Kphler) maupun pengembangan selanjutnya (K. Lewin dan F.
Perls)
(4)
Pendekatan “ Search Of Meaning” dengan
aplikasinya sebagai “ Logotherapy” dari Viktor Franki yag
mengungkapkan betapa pentingnya semangat ( Human spririt ) untuk
mengatasi berbagai tantangan / masalah yang dihadapi.
Pendekatan-pendekatan
tersebut diatas menekankan betapa pentingnya “inti” privasi atau
jati diri manusia
Aliran Naturalisme
Pandangan ini
ada persamaannya dengan nativisme. Aliran naturalisme dipelopori oleh filsuf
Perancis (JJ. Rousseau 1712-1778) Berbeda
dengan dengan Schpenhaouer, Rousseau berpendapat bahwa semua anak yang baru
dilahirkan mempunyai pembawaan buruk. Pembawaan baik anak akan menjadi rusak
karena dipengaruhi oleh lingkungan.
Rousseau juga
berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa malahan dapat merusak
pembawaan anak yang baik itu. Aliran ini juga disebut negativisme, karena
berpendapat bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam.
Jadi dengan
kata lain pendidikan tidak diperlukan. Karena yang perlu dilakukan adalah
menyerahkan anak didik ke alam, agar pembawaan yang baik itu tidak menjadi
rusak oleh tangan manusia melalu proses dan kegiatan pendidikan. Rousseau ingin
menjauhkan anak dari segala keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat
(artificial) sehingga anak-anak yang diperoleh secara alamiah sejak saat
kelahirannya itu dapat tampak secara spontan dan bebas. Ia mengusulkan perlunya
permainan bebas kepada anak didik untuk mengembangkan pembawaannya,
kemampuan-kemampuannya, dan kecenderungan-kecenderungannya.
Pendidikan
harus dijauhkan dalam perkembangan anak karena hal itu berarti dapat menjauhkan
anak dari segala hal yang bersifat dibuat-buat dan dapat membawa anak kembali
ke alam untuk mempertahankan segala yang baik.
Aliran Konvergensi
Perintis aliran
ini adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman
yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan kedunia ini sudah disertai
pembawaah baik maupun pembawaan buruk. Penganut aliran ini berpendapat
bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor
lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting. Bakat yang
dibawa pada waktu anak dilahirkan tidak akan berkembang dengan baik tanpa
adanya dukungan lingkungan yang baik sesuai dengan perkembangan bakat itu.Sebaliknya,
lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal
kalau memang pada diri anak tidak dapat bakat yang diperlukan untuk
mengembangkan itu. Sebagai contoh, hakikat kemampuan anak berbahasa
dengan kata-kata, adalah juga hasil dari konvergensi. Pada akan manusia
ada pembawaan untuk berbicara melalui situasi lingkungannya, anak
berbicara dalam bahasa tertentu. Lingkungan pun mempengaruhi anak didik
dalam mengembangkan pembawaan bahasanya. Karena itu setiap anak manusia
mula-mula menggunakan bahasa lingkungannya. Missal bahasa jawa, sunda,
bahasa inggris, bahasa jerman dan lain sebaginya. Kemampuan dua orang
anak (yang tinggal dalam lingkungan yang sama ) untuk mempelajari bahasa
mungkin tidak sama. Itu disebabkan oleh factor kualitas pembawaan dan
perbedaan situasi lingkungan, biar pun lingkungan kedua anak tersebut
menggunakan bahasa yang sama. Willianm Stern berpendapat bahwa
hasil pendidikan itu tergantug pada pembawan dan lingkungan,
seakan-akan dua garis yang menuju kesatu titik pertemuan sebagai
berikut:
a.
Pembawaan
b.
Lingkungan
c.
Hasil pendidikan/ perkembangan
Karena
itu teori W. Stern disebut teori konvergensi (konvergen artinya
memusat kesatu titik). Jadi menurut teori
konvergensi :
(1)
Pendidikan mungkin dilaksanakan.
(2)
Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan
lingkungan kepada anaka didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan
mencegah berkembangnya potensi yang kurang baik.
(3)
Yang membatasi hasil pendidika adalah pembawaan dan
lingkungan.
Aliran
konvergen pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memaha,mi tumbuh kembang manusia.
Meskipun demikian terdapatg variasi mengenai factor-faktor mana yang paling
penting dalam menentukan tumbuhh kembang itu. Seperti telah dikemukakan
bahwa variasi-variasi itu tersecrmin antara lain dalam perbedaan
pandangan tentang strategi yang tepat untuk memahami perilaku
manusia, seperti strategi disposisional/konstitusional, startegi
phenomenologis/humanistic, startegi behavior, startegi psikodinamik/psiko
analitik, dan sebagainya. Demikian pula halnya dalam belajar
mengajar; variasi pendapat itu telah menyebabkan muncunya
berbagai teori belajar mengajar dan atau teori/model
mengajar. Sebagai contoh dikenal berbagai pendapat tentang
model-model mengajar seperti rumpun model behavior ( umpan model
belajar tuntas, model belajar control diri sendiri, model belajar
simulasi, dan model belajar asertif), model belajar pemrosesan
informasi ( model belajar inkuiri, model persentase kerangka dasar,
atau advance organizer, dan model pengembangan berfikir), dan
lain-lain. Dari sisi-sisi lain, variasi pendapat itu juga
melahirkan berbagai pendapat gagasan tentang belajar mengajar, seperti
peran guru sebagai fasilitator atau informatory, teknik penilaian
pencapaian siswa dengan tges objektif atau tes esai, perumusan
tujuan pengajaran yang sangat behavior, penekanan pada peran
teknologi pengajaran.
Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan
diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara
umum, yaitu:
Efektifitas Pendidikan di Indonesia
Pendidikan yang
efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat
belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang
diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer)
dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran
tersebut dapat berguna.
Efektifitas
pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan
penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya
tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini
menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan
dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses
pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan
efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak
tahu apa tujuan kita.
Selama ini,
banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi
formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli
bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah
melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh
masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas
pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan
dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai
bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam
pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan
dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan
efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang
mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti
itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak
kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di
Indonesia.
Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah
bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih
‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan
untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal
itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang
mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah
disepakati.
Beberapa
masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan,
waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain
yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga
berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah
mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita.
Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita
bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education.
Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu
tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan
sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita
berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya
sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain
yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti
buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai
ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar
jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak
hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis,
seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh
pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang
mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik
tersebut.
Selain masalah
mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu
pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap
muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam
pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal
pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00..
Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik
yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu
tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain
seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses
pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya
mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai
kurang.
Selain itu,
masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar.
Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai
hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga
membutuhkan uang lebih.
Yang kami
lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak
pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di
bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan
kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi
pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat
mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan
menbuat tertarik peserta didik.
Sistem
pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi
pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah
sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa
tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994,
kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran
menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika
mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar
harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya
pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum
yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang
dinilai lebih efektif.
Konsep
efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara
optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang
sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi
sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi
teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai
dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis
tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap
keluaran.
Konsep
efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian
dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan
pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia
pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai
dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah
ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang
mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan
sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami
hambatan.
Standardisasi Pendidikan di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga
berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah
melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat
terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia
modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh
seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam
pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar
dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam
berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk
melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi
Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu
pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang
tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar
kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai
standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif
dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau
lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai
di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti
kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas
salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar
pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir
selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti
UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan
seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan,
hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik
yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya
berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja
tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan
sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya,
yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya
sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu
pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali
lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar
permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga
jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa
penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan
pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia.
Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana
fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya
rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi
tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki
gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan
sebagainya.
Data Balitbang
Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang
menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh
ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau
34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami
kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih
tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga
terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak
sama.
Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum
memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana
disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,
melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak
mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di
berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07%
(negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta),
untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak
mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu
sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru
SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain
itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma
D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru
57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari
181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan
S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan
pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan
kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat
besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru
dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat
kesejahteraan guru.
Rendahnya
Kesejahteraan Guru
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan
Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp
3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5
juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp
10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru
terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain,
memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang
buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya
UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan.
Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu
disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai,
antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan
profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas.
Tapi,
kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang
muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit
mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70
persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan
kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9
Januari 2006).
Rendahnya
Prestasi Siswa
Dengan keadaan
yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan
guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal
pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia
internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study
(TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44
negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam
hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal
prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme
(UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara
serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development
Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi
ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja,
posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala
internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA
(Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di
Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada
peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong),
74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia
ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit
sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini
mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan
ganda.
Selain itu,
hasil studi The Third International Mathematic and Science
Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara
peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk
IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia
Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas
terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan
ke-75.
Kurangnya Pemerataan Kesempatan
Pendidikan
Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang
Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama
tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada
tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk
kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu
54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih
sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk
mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan
Kebutuhan
Hal tersebut
dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang
dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang
dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar
36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup
tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%.
Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak
putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil
pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya
kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik
memasuki dunia kerja.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan
bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi
(PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak
bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK
dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000.
Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1
juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya
biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang
menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya
lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu,
Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan
adanya unsur pengusaha.
Asumsinya,
pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite
Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan
Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan,
karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah
orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan
pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini
akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).
Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas
memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status
itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan
warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi
Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan
MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN
sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan
Tinggi favorit.
Privatisasi
atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas
dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar
negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan
faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap
pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong
hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005
hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk
membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana
Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan,
seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan,
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan
RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum pendidikan.
Seperti halnya
perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam
operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ),
Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi
pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan
dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan
begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya
penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya
setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses
rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi
dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miskin.
Hal senada
dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi
pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama
oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi
pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan
(BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh
sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat
tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu
harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis,
Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi
yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang
menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau
gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah
sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh
pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan
bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi
Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi
masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan
yaitu:
Pertama, solusi
sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan
dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan
dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang
ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab
neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung
jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi
untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan
–seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya
pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan
sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer
sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib
dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa
pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi
teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung
dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas
guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi
untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan
membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan
memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya
prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan
kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana
pendidikan, dan sebagainya.
Kualitas
pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan
kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab
utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih
kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1)
Rendahnya sarana fisik,
(2)
Rendahnya kualitas guru,
(3)
Rendahnya kesejahteraan guru,
(4)
Rendahnya prestasi siswa,
(5)
Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6)
Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7)
Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi
yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah
sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan
kualitas guru serta prestasi siswa.
Komentar
Posting Komentar