CONTOH TUGAS OPINI PUBLIK


(ANALISIS OPINI PUBLIK TERKAIT DENGAN BASUKI TJAHYA PURNAMA (AHOK) DALAM PEMILIHAN GUBERNUR DKI JAKARTA TAHUN 2017)




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

          Pemilihan umum (Pemilu) menjadi salah satu parameter bagi sebuah negara yang  menjalankan  prinsip-prinsip  demokrasi. Asas  utama didalamnya  adalah  terlaksananya  pemerintahan  yang  didasarkan  pada  konsepsi  pemilihan umum  dari  rakyat,  oleh  rakyat  dan  untuk  rakyat. Dalam  menyelenggarakan pemilu, suatu negara demokratis   seperti   Indonesia, akan   menyelenggarakan pemilu  selama  dua  kali,  pertama  adalah  untuk  memilih  anggota  legislatif  yang akan  duduk  sebagai  wakil  rakyat  di  parlemen,  dan  kedua  adalah  untuk  memilih Presiden   dan   Wakil   Presiden   yang   duduk   sebagai   eksekutif.   Mekanisme semacam  ini juga berlaku  hingga  di  tingkat daerah, yaitu dengan  memilih kepala daerah yang    meliputi    pemilihan    Gubernur/Wakil  Gubernur, pemilihan Bupati/Wakil Bupati, serta pemilihan Walikota/Wakil Walikota.

          Karena   menjadi   ukuran   derajat   demokrasi   suatu   negara, pelaksanaan pemilu  (legislatif, pemilihan  presiden  dan pemilihan  kepala daerah (pilkada)/pemilukada) harus dapat dilaksanakan dengan cara yang baik, jujur dan adil, tanpa ada paksaan terhadap  individ sebagaimana yang terjadi di  masa lalu. Apalagi   penyelenggaraan   pemilu   itu   adalah   untuk   memilih   pemimpin   dan membentuk lembaga-lembaga demokrasi lainnya.

          Dalam  kontek  demokrasi  lokal,  pemilihan  kepala  daerah (pilkada)  atau pemilihan  umum  kepala  daerah  (pemilukada) merupakan  upaya  dalam  mencari pemimpin  daerah  yang  berkualitas  dengan  cara-cara  yang  damai,  jujur,  dan  adil. Salah  satu  prinsip  demokrasi  yang  terpenting  didalamnya  adalah  pengakuan terhadap perbedaan dan penyelesaian secara damai.

          Penyelenggaraan pilkada tidak bisa lepas dari pijakan dasarnya terkait penyelenggaraan pemerintahaan daerah yang menggunakan prinsip otonomi daerah, sedangkan perkembangan otonomi daerah sebagai bagian dari proses desentralisasiakan selalu terkait dengan keberhasilan orde reformasi yang telah membuat pelaksanaan prinsip otonomi daerah di Indonesia semakin membaik, dan membuka ruang bagi daerah untuk berkreasi secara mandiri.

          Pada awal reformasi pijakan regulasi otonomi daerah adalah UU 22/1999 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah (otonomi daerah), ternyata proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) masih dipilih oleh anggota DPRD. Proses itu berubah sejak adanya amandemen UUD 1945 yang dilakukan pada periode DPR/MPR 1999-2004 yang membuat pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung, sehingga otomatis berimbas terhadap mekanisme pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi dilkasanakan secara langsung dan mulai dilaksanakan pada 2005.

          Pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang dilaksakan pada periode 2005-2008, jumlahnya hampir mencapai 500 atau tepatnya 498 pemilihan kepala daerah (pilkada) yang terbagi 33 pemilihan gubernur dan 465 pemilihan bupati/walikota.

          Pelaksanaan pilkada sesuai UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, menyebutkan pemda tidak mempunyai lembaga khusus yang menangani pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada), sehingga dalam proses pelaksanaan pilkada diserahkan kewenangannya sesuai aturan UU 32/2004 kepada sebuah lembaga yang dinamakan Komisi Pemiihan Umum Daerah (KPUD) dimasing-masing daerah. Instansi KPUD dibentuk berdasarkan UU No. 12/2003 tentang pemilu anggota DPR, DPD, DPRD. Wewenang khusus yang diberikan kepada KPUD sebagai mana dimaksud pasal 1angka 21 UU No. 32/2004, yang memberikan pengertian KPUD sebagai berikut :

          “Komisi Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi, Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam UU No.12/2003 yang diberi kewenangan khusus oleh UU ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah disetiap provinsi dan/atau kabupaten/kota.

          Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai suatu institusi yang menangani masalah pemilu masih relatif muda usianya sehingga belum banyak memiliki pengalaman dan harus banyak belajar, bahkan rata-rata untuk periode 2005-2009, KPUD di banyak daerah melaksanakan pemilihan kepaladaerah (pilkada) langsung untuk pertama kalinya. Akibat kekurang pengalaman itu berpeluang mengalami kesalahan-kesalahan, baik dalam memahami maupun menafsirkan undang-undang, peraturan pemerintah, dan aturan lainnya serta regulasi yang dibuat sendiri oleh KPUD tersebut.
                       
          Disisi lain, regulasi pemilihan kepala daerah (pilkada) yang disusun KPUD menjadi sangat diperlukan sebagai landasan hukum dalam menyelenggarakan pilkada di daerah. KPUD sengaja diberi wewenang untuk menyusun regulasi sendiri, karena kegiatan pilkada bermaksud untuk memilih pemimpin di daerahnya, sehingga aturan yang dijadikan rujukan dalam penyusunan regulasi oleh setiap KPUD bisa saja berbeda-beda. Pada kontek itu membawa akibat regulasi pilkada antar daerah pun bisa saja berbeda-beda sesuai tingkat pemahaman sumber daya manusia yang ada di bidang legal drafter.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah, maka identifikasi masalah yaitu :

1.      Bagaimana Tanggapan Basuki Tjahya Purnama (Ahok) mengenai Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017?
2.      Bagaimana Tanggapan Ahli Politik mengenai Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dan Tujuan Penelitian ini untuk menjawab, mengukuir, dan menganalisa tentang Basuki Tjahya Purnama (Ahok) dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 adalah :

1.      Untuk mengetahui Tanggapan Basuki Tjahya Purnama (Ahok) dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017.
2.      Untuk mengetahui Tanggapan Ahli Politik mengenai Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan teori-teori yang berhubungan dengan topik yang bersangkutan dan serta pelengkap pembahasan ini.

2.1 Definisi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada atau Pemilukada) dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup: gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi; bupati dan wakil bupati untuk kabupaten; walikota dan wakil walikota untuk kota.

2.2 Definisi Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum RI No. 5 Tahun 2015 tentang Pengawasan Tahapan Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, Komisi Pemilihan Umum adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang diberikan tugas dan wewenang dalam penyelenggaraan Pemilihan.

2.3 Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)

Berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum RI No. 5 Tahun 2015 tentang Pengawasan Tahapan Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, Badan Pengawas Pemilihan Umum adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang diberikan tugas dan wewenang dalam pengawasan penyelenggaraan Pemilihan.

2.4 Partai Politik

Berdasarkan UU RI No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.5 Definis Calon Perseorangan

Calon Perseorangan atau dikenal independen adalah seorang yang mencalonkan diri untuk menduduki jabatan politik tanpa ada dukungan partai politik.

2.6 Definisi Teman Ahok

Teman Ahok adalah sebuah perkumpulan relawan yang didirikan sekelompok anak muda yang bertujuan untuk membantu dan “menemani” Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam mewujudkan Jakarta baru yang lebih bersih, maju, dan manusiawi. Sampai saat ini, Teman Ahok berfokus mengumpulkan KTP warga DKI dalam rangka mendukung Ahok menjadi Calon Gubernur Independen DKI Jakarta 2017. Ini dilakukan untuk mendukung Ahok terus konsisten hanya merasa berhutang pada rakyat, bukan pada Partai Politik.

2.7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang    Pemerintahan Daerah

Bagian Kedelapan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Paragraf Kesatu, Pemilihan, Pasal 56 tertulis:
1.      Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
2.      Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat :
1. diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Pada UU ini, ketentuan mengenai keikutsertaan calon perseorangan untuk mengikuti Pilkada belum dimasukkan, karena belum adanya rencana pemerintah untuk merubah UU tersebut dan citra baik masih dipegang partai politik.

2.8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Mahkamah Konstitusi memberi putusan untuk mencantumkan calon perseorangan masuk dalam daftar calon kepala daerah secara terbuka untuk ke seluruh daerah, selain dari calon dari partai politik.
Selanjutnya syarat dukungan untuk calon dari partai politik dan calon independen terdapat pada Pasal 59.
1.      Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah:
a. pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
b. pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.
2.      Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
(2a) Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat :
(1) huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur/wakil gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);
b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);
c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan
d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
           (2b) Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat :
(1) huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);
b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);
c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan
d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
(2c) Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat :
(2a) tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud.
(2d) Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat :
(2b) tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.
(2e) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat :
(2a) dan ayat (2b) dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)  Dihapus.
(4) Dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.
(4a) Dalam proses penetapan pasangan calon perseorangan, KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.
(5)  Partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan calon partai politik, wajib menyerahkan:
a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung;
b. kesepakatan tertulis antarpartai politik yang bergabung untuk mencalonkan pasangan calon;
c. surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas pasangan yang dicalonkan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau para pimpinan partai politik yang bergabung;
d. surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara berpasangan;
e. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon;
f. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
g. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
h. surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD tempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah kerjanya;
i. surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah;
j. kelengkapan persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; dan
k. visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis.
(5a) Calon perseorangan pada saat mendaftar wajib menyerahkan :
a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh pasangan calon perseorangan;
b. berkas dukungan dalam bentuk pernyataan dukungan yang dilampiri dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau surat keterangan tanda penduduk;
c. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon;
d. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
e. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
f. surat pernyataan nonaktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD tempat yang bersangkutan menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di daerah wilayah kerjanya;
g. surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah;

h. kelengkapan persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; dan visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis.
(5b) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) huruf b hanya diberikan kepada satu pasangan calon perseorangan.
(6) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat :
(2) hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon dan pasangan calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik lainnya.
(7) Masa pendaftaran pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat :
(1) paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran pasangan calon.

2.9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Bagian Kedua Prinsip Pelaksanaan Pasal 3 menyebutkan:
1.      Gubernur dipilih oleh anggota DPRD Provinsi secara demokratis berdasar asas bebas, terbuka, jujur, dan adil.
2.      Bupati dan walikota dipilih oleh anggota DPRD kabupaten/kota secara demokratis berdasar asas bebas, terbuka, jujur, dan adil.

Seperti tertulis dalam Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota bahwa UU ini  dianggap sebagai penyempurnaan demokratisasi dan penguatan tata kelola pemerintahan daerah.

“Penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur Pemilihan gubernur, bupati dan walikota melalui lembaga perwakilan yang dilakukan oleh DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dimaksudkan untuk menempatkan mekanisme Pemilihan gubernur, bupati dan walikota secara demokratis dan menguatkan tata kelola pemerintahan daerah yang efisien dan efektif dalam konstruksi sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan asas desentralisasi.”

Namun, di tahun yang sama terjadi penolakan atas Pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena dianggap telah menyangkal prinsip demokrasi. Maka, untuk mengisi kekosongan hukum ini sementara waktu Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

2.10 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia

Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 diatur mengenai KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugasnya melakukan seluruh tahapan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, serta mengatur penyelesaian baik penyelesaian untuk perselisihan hasil Pemilihan Gubernur maupun perselisihan hasil Pemilihan Bupati dan Walikota di tingkat Pengadilan Tinggi dan dapat mengajukan permohonan keberatan ke Mahkamah Agung yang putusannya bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.
2.11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang
BAB VII Pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota, Pasal 39 Peserta Pemilihan adalah:
a. Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik; dan/atau
b. calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.

Pasal 41
1.      Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur jika  memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen);
b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 5% (lima persen);
c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 4% (empat persen);
d. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 3% (tiga persen); dan
e. jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah Kabupaten/Kota di Provinsi dimaksud.
2.      Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Walikota, jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam koma lima persen);
b. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 5% (lima persen);
c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai. dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 4% (empat persen);
d. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 3% (tiga persen); dan
e. Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah Kecamatan di Kabupaten/Kota dimaksud.


3.      Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4.      Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan kepada 1 (satu) calon perseorangan.
                                   
Penyempurnaan dari UU Perppu ini pun diterapkan pada UU No. 8 Tahun 2015, dengan menggunakan kata Pasangan Calon karena konsepsi di dalam Perppu, calon kepala daerah dipilih tanpa wakil dan ditambahkan syarat dukungan bagi calon perseorangan yang dimaksudkan agar calon perseorangan merepresentasikan dukungan riil dari masyarakat untuk bersaing dalam Pemilihan.

2.11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Menyebarkan tempat-tempat pengawasan didalam organisasi. 

BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39
Peserta Pemilihan adalah:
a. Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik; dan/atau
b. Pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.

Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41
1.      Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a.       Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen);
b.      Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen);
c.       Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);
d.      Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan
e.       jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di Provinsi dimaksud.
2.      (2) Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a.       Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen);
b.      Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen);


c.       Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);
d.      Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan
e.       Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.
3.      Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk Elektronik, kartu keluarga, paspor, dan/atau identitas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4.      Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan kepada 1 (satu) pasangan calon perseorangan.

            Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Nomor 8 Tahun 2015 ini memberatkan pasangan calon perseorangan, maka Mahkamahh Konstitusi mengeluarkan putusan no 131/PUU-XII/2015 yang menyatakan bahwa syarat dukungan tidak berdasarkan jumlah penduduk, melainkan berdasarkan daftar pemilih tetap Pemilu sebelumnya.




PEMBAHASAN

Pada bab ini menjelaskan pembahasan mengenai “analisis terkait dengan basiku thaya purnama (AHOK) dalam pemilihan gubernur dki jakarta tahun”.

3.1 Tanggapan Basuki Tjahya Purnama (Ahok) mengenai Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017

Siapa tidak kenal dengan Basuki Tjahaja Purnama biasa disapa  Ahok. Pada 14 November 2014, ahok diumumkan secara resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta pengganti Joko Widodo, melalui rapat paripurna istimewa di Gedung DPRD DKI Jakarta. Ahok resmi dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Joko Widodo pada 19 November 2014 di Istana Negara, setelah sebelumnya menjabat sebagai Pelaksana Tugas Gubernur sejak 16 Oktober hingga 19 November 2014. Sebelumnya juga Ahok menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta dari 2012-2014 mendampingi Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta kala itu.
Untuk pertama kalinya gubernur baru ibukota DKI Jakarta berasal dari etnis Tionghoa, Selama era Suharto, komunitas minoritas etnis Tionghoa di Indonesia menghadapi diskriminasi parah dalam beberapa dekade. Kini, untuk pertama kalinya Ahok gubernur baru ibukota DKI Jakarta berasal dari etnis Tionghoa.
Sepak terjang Ahok dalam dunia politik. Pertama-tama Ahok bergabung dibawah bendera Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) yang saat itu dipimpin oleh Dr. Sjahrir. Pada pemilu 2004 ahok mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Dengan keuangan yang sangat terbatas dan model kampanye yang lain dari yang lain, yaitu menolak memberikan uang kepada rakyat, ia terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur periode 2004-2009.
Selama di DPRD Ahok berhasil menunjukan integritasnya dengan menolak ikut dalam praktik KKN, menolak mengambil uang SPPD fiktif, dan menjadi dikenal masyarakat karena ia satu-satunya anggota DPRD yang berani secara langsung dan sering bertemu dengan masyarakat untuk mendengar keluhan mereka sementara anggota DPRD lain lebih sering “mangkir”.
Setelah 7 bulan menjadi DPRD, muncul banyak dukungan dari rakyat yang mendorong Ahok menjadi bupati. Maju sebagai calon Bupati Belitung Timur di tahun 2005, Ahok mempertahankan cara kampanyenya, yaitu dengan mengajar dan melayani langsung rakyat dengan memberikan nomor telfon genggamnya yang juga adalah nomor yang dipakai untuk berkomunikasi dengan keluarganya. Dengan cara ini ia mampu mengerti dan merasakan langsung situasi dan kebutuhan rakyat. Dengan cara kampanye yang tidak “tradisional” ini, yaitu tanpa politik uang, Ahok secara mengejutkan berhasil mengantongi suara 37,13 persen dan menjadi Bupati Belitung Timur periode 2005-2010. Padahal Belitung Timur dikenal sebagai daerah basis Masyumi, yang juga adalah kampung dari Yusril Ihza Mahendra.
Bermodalkan pengalamannya sebagai pengusaha dan juga anggota DPRD yang mengerti betul sistem keuangan dan budaya birokrasi yang ada, dalam waktu singkat sebagai Bupati ahok mampu melaksanakan pelayanan kesehatan gratis, sekolah gratis sampai tingkat SMA, pengaspalan jalan sampai ke pelosok-pelosok daerah, dan perbaikan pelayanan publik lainya. Prinsipnya sederhana: jika kepala lurus, bawahan tidak berani tidak lurus. Selama menjadi bupati ia dikenal sebagai sosok yang anti sogokan baik di kalangan lawan politik, pengusaha, maupun rakyat kecil. Ia memotong semua biaya pembangunan yang melibatkan kontraktor sampai 20 persen. Dengan demikian ia memiliki banyak kelebihan anggaran untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Kesuksesan ini terdengar ke seluruh Bangka Belitung dan mulailah muncul suara-suara untuk mendorong Ahok maju sebagai Gubernur di tahun 2007. Kesuksesannya di Belitung Timur tercermin dalam pemilihan Gubernur Babel ketika 63 persen pemilih di Belitung Timur memilih Ahok. Namun sayang, karena banyaknya manipulasi dalam proses pemungutan dan penghitungan suara, ia gagal menjadi Gubernur Babel.
Dalam pemilu legislative 2009 ia maju sebagai caleg dari Golkar. Meski awalnya ditempatkan pada nomor urut keempat dalam daftar caleg (padahal di Babel hanya tersedia 3 kursi), ia berhasil mendapatkan suara terbanyak dan memperoleh kursi DPR berkat perubahan sistem pembagian kursi dari nomor urut menjadi suara terbanyak.
Selama di DPR, ia duduk di komisi II. Ia dikenal oleh kawan dan lawan sebagai figur yang apa adanya, vokal, dan mudah diakses oleh masyarakat banyak. Lewat kiprahnya di DPR ia menciptakan standar baru bagi anggota-anggota DPR lain dalam anti-korupsi, transparansi dan profesionalisme. Ia bisa dikatakan sebagai pioner dalam pelaporan aktivitas kerja DPR baik dalam proses pembahasan undang-undang maupun dalam berbagai kunjungan kerja. Semua laporan bisa diakses melalui websitenya. Sementara itu, staf ahlinya bukan hanya sekedar bekerja menyediakan materi undang-undang tetapi juga secara aktif mengumpulkan informasi dan mengadvokasi kebutuhan masyarakat. Saat ini, salah satu hal fundamental yang ia sedang perjuangkan adalah bagaimana memperbaiki sistem rekrutmen kandidat kepala daerah untuk mencegah koruptor masuk dalam persaingan pemilukada dan membuka peluang bagi individu-individu idealis untuk masuk merebut kepemimpinan di daerah.
Ahok berkeyakinan bahwa perubahan di Indonesia bergantung pada apakah individu-individu idealis berani masuk ke politik dan ketika di dalam berani mempertahankan integritasnya. Baginya, di alam demokrasi, yang baik dan yang jahat memiliki peluang yang sama untuk merebut kepemimpinan politik. Jika individu-individu idealis tidak berani masuk, tidak aneh kalau sampai hari ini politik dan birokrasi Indonesia masih sangat korup. Oleh karena itu ia berharap model berpolitik yang ia sudah jalankan bisa dijadikan contoh oleh rekan-rekan idealis lain untuk masuk dan berjuang dalam politik. Sampai hari ini ia masih terus berkeliling bertemu dengan masyarakat untuk menyampaikan pesan ini dan pentingnya memiliki pemimpin yang bersih, transparan, dan profesional.
Tahun 2011, Ahok seperti mendapat durian runtuh, Tiba-tiba partai Gerindra mengajaknya untuk disandingkan dengan Joko Widodo menjadi pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017. Ahok hengkang dari Partai Golkar dan bergabung dengan Partai Gerindra. Lagi-lagi, di tengah perjalanan Ahok meninggalkan Partai Gerindra. Tahun 2014, Jokowi menjadi Presiden RI. Jabatan Gubernur diserahkan kepada Ahok sampai sekarang.
Pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta akan kembali digelar pada 2017. Aroma persaingan para Calon Gubernur  dan Calaon Wakil Gubernur DKI Jakarta sudah mulai kian terasa memanas, namun ada yang berbeda kali ini. Basuki Thajaja Purnama alias Ahok yang akan maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada Pemilihan Gubernur tahun 2017 mendatang. Ahok yang biasanya menggunakan Partai Politik sebagai alat kampanye, tapi kini Ahok memilih jalur non partai atau sering disebut jalur Independen.
Pilkada DKI Jakarta 2017 semakin ramai diperbincangkan saat Ahok memilih jalur non partai alias independen, banyak warga berapresiasi, banyak pula  protes mencaci. Bukan tidak ada alasan Ahok memilih jalur non partai, namun ini merupakan suatu dukungan inisiatif  dari relawan ahok yang disebut “Teman Ahok”.
Mengapa memilih jalur independen?, dengan memilih jalur independen, Ahok mengaku tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk mekanisme partai, tidak ingin mematahkan semangat anak muda yang telah mendukungnya sejauh ini. Meskipun Ahok telah menyampaikan segala resikonya kepada mereka, Teman Ahok masih semangat untuk mengusungnya. Ahok tidak mau anak-anak muda dari Teman Ahok kecewa.
Semangat anak-anak pendukungnya inilah yang membuatnya memilih jalur independen. Ahok mengakui dirinya mengambil risiko yang besar. Ibaratnya dia lebih memilih naik bus, ketimbang mobil bagus yang ada sopir lengkapnya. Tapi yang terpenting adalah Ahok naik bus bersama dengan pendukungnya dan rame-rame. Dari pada Ahok naik mobil mewah tapi pendukungnya tidak ikut.
Ahok telah menjelaskan secara detail berbagai risiko yang akan diterima jika maju melalui jalur independen. Teman Ahok punya misi penting untuk mengumpulkan persyaratan satu juta fotokopi KTP, mengisi nama calon wakil gubernur dan lain-lain. Kendati demikian, Teman Ahok tetap sepakat mendukung Ahok sampai akhir.
Saat ini Teman Ahok sudah mengumpulkan KTP 869.706 sumber Twitter @temanAhok, kurang dari 140000 KTP Ahok bisa mengikuti Pilgub DKI Jakarta dengan wakil gubernurnya Heru Budi Hartono, akankah pertaruhan Ahok ini berhasil.
Mengapa tidak memakai parpol?, Ahok adalah  Gubernur DKI Jakarta tanpa partai sejak ia menyatakan keluar dari Partai Gerinda pada tahun lalu. Jadi sebenarnya Ahok berstatus “Gubernur Independen”. Dengan status tanpa partai itu, maka Ahok memiliki kebebasan untuk mencalonkan diri dalam Pilgub DKI Jakarta 2017. Ia tidak memerlukan izin siapa-siapa untuk maju sebagai calon independen atau maju melalui jalur parpol.
Antara kedua pilihan tersebut secara teknis sulit dipadukan. Menjadi calon gubernur dari jalur independen harus diputuskan Ahok secepatnya, karena sesuai persyaratan dalam UU Pilkada. Ahok harus menetapkan siapa yang akan mendampinginya menjadi cawagub, mengumpulkan dukungan rakyat Jakarta berikut foto copy KTP mereka. Untuk itu Ahok harus mendapatkan pernyataan dukungan sekitar 530.000 warga Jakarta.
Sedangkan jika menjadi calon dari jalur parpol,  berarti Ahok harus bersedia menunggu mekanisme partai dalam melakukan penjaringan untuk menetapkan calon yang akan diusung.  Biasanya ada  proses penjaringan bacagub  dari bawah sampai ke tingkat provinsi.  Setelah itu, barulah keputusan diserahkan kepada Ketua Umum partai untuk memutuskan  satu cawagub yang akan diusung menjadi gubernur. Penetapan cagub yang akan diusung  bisa jadi hanya beberapa hari menjelang batas akhir.
Selain mekanisme partai yang bersifat formal itu, ada pula mekanisme yang bersifat informal yang harus dipenuhi. Biasanya, hal terpenting dalam mekanisme partai yang informal itu adalah “uang mahar”  yang harus disediakan sang calon yang akan diusung. Tanpa uang mahar maka partai urung mengusung, dan memindahkan dukungan kepada calon lain yang lebih kaya, lebih banyak duitnya. Ahok yang anti korupsi dan politik uang tentunya akan menolak untuk membayar uang mahar tersebut.
Masalahnya, satu-satunya parpol yang memiliki kursi lebih dari 20% di DPRD hanya PDIP. Memang Ahok cukup dekat dengan Megawati, Ketua Umum PDIP. Namun kedekatan itu tidak lantas menjadikan PDIP mau menciptakan jalur pintas bagi Ahok. Misalnya PDIP mau memberikan dispensasi, bisa langsung diusung tanpa melalui mekanisme partai yang biasa berlaku. Mungkin sang “ibu” melihat masih ada potensi kader partai yang hebat. Mungkin pula sang “ibu” tidak ingin menyakiti hati para kadernya yang juga berminat diusung. Ahok tetap harus bersedia menunggu mekanisme partai yang baru akan dimulai pada April 2017.
Maka Ahok memutuskan untuk menjadi cagub DKI melalui jalur independen. Itulah pilihan logis yang harus diambil Ahok. Tentu saja jalur parpol tidak menjadi pilihan bagi Ahok, karena  ia hanya berstatus sebagai calon dari eksternal partai. Biasanya setiap partai harus memprioritaskan  calon dari internal partai, para kader partai yang juga sudah antri ingin diusung oleh partainya.  Partai baru akan memilih calon dari kalangan eksternal jika benar-benar  tidak mempunyai kader yang mumpuni.
Oleh sebab itu sebenarnya tidak ada alasan bagi parpol untuk marah dan kebakaran jenggot dengan keputusan Ahok memilih jalur independen. Tidak ada alasan bagi parpol termasuk PDIP untuk marah-marah. Sebaliknya dengan keputusan Ahok memilih jalur independen,  parpol seharusnya berbesar hati, karena mereka dapat memilih calon gubernur yang akan mereka usung secara leluasa tanpa mempertimbangkan keberadaan Ahok yang juga ikut menunggu. Para kader partai tidak perlu merasa tersaingi oleh Ahok karena ia telah memilih jalur independen.
Terdengar bahwa parpol menyusahkan di saat teman ahok sudah berjalan, maju menjadi calon independen membuat parpol kurang relevan, keputasan Ahok beresiko besar sekaligus membebaskan dari dugaan mahar, kini ahok bertumpur pada KTP warga berhadapan dengan rumitnya prosedur pilkada. Ahok memutuskan jalur perseorangan sebagai pilihan politik menuju pilkada DKI Jakarta.

3.6 Tanggapan Ahli Politik mengenai Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017


Maju nya Ahok sebagai calon independent dalam pemilu cagub DKI Jakarta 2017 membuat para ahli politik turun bicara tentang hal tesebut, Salah satu pengamat politik yaitu Ansy Lema menanggapi soal calon Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di pilgub DKI Jakarta tanpa dukungan parpol, Ansy mengatakan sebenarnya ahok tidak sendiri melainkan ada dukungan partai lain. 
Salah satu tanggapan yang dilontarkan oleh Arsy juga berpendapat mengatakan bahwa “ada partai Nasdem, partai Hanura dan juga teman Ahok, yang sudah memberi dukungannya untuk Ahok maju pilkada DKI 2017 nanti,” jelas Ansy.Ia juga mengatakan hubungan Ahok dengan 10 partai politik di DPRD DKI tidak harmonis.“Ada sekitar 10 parpol (pungusung di DPRD DKI),” kata Ansy, Ansy menegaskan bahwa ada kongkalikong di belakang layar bisa saja terjadi untuk memuluskan calon tertentu maju di pilgub DKI. “makanya kalau ada yang karaoke bareng, nge-wine bareng, tos-tosan bareng, ini patut di curigai,” ujar Ansy.
Menurut Hendri, salah satu pengamat politik juga dari salah satu Universitas Paramadina ia menjelaskan, bahwa secara kasat mata memang terlihat seperti ada deparpolisasi. Namun bila dilihat dari kacamata politik, ini merupakan strategi Ahok untuk menarik ulur minat partai politik untuk menggandeng dirinya. Sehingga, kata Hendri, semakin mendekati deadline, semakin tinggi daya tawar Ahok. Terlebih partai politik tidak memiliki calon yang mampu melawannya.
"Jadi semakin Ahok ribut independen, Ahok semakin populer. Partai politik pasti melakukan penawaran. Akhirnya, Ahok bisa mengatur partai," ungkapnya ketika dihubungi. Untuk menghindari hal tersebut, kata Hendri, partai politik, khususnya PDI Perjuangan harus mencari tokoh seperti Joko widodo (Jokowi), dekat dengan rakyat dan partai politik. Menurutnya, PDI Perjuangan memiliki kader seperti itu, yakni Ganjar dan Risma. Dia pun yakin apabila PDI Perjuangan memajukan mereka berdua, Ahok pasti kalah. "Itu harus dilakukan. Kalau tidak ini berbahaya. Hasil survei 60 persen tidak percaya terhadap partai politik. Ahok pun sudah membuktikan satu setengah tahun tidak punya partai menjadi gubernur. Apabila Ahok menang independen, tidak menutup kemungkinan daerah lain mengikutinya. Jakarta ini barometer politik nasional," tegasnya‎
Salah satu Wakil Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Abdul Aziz ,dari  Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DKI, Abdul Aziz menilai, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sebaiknya jangan besar kepala (ge-er) kalau dia akan didukung PKB untuk ikut Pilkada DKI Jakarta 2017.Anggota DPRD DKI Jakarta mengatakan bahwa proses penjaringan bakal calon gubernur DKI Jakarta di internal partai masih belum dilakukan. Dia juga menambahkan PKB akan memulai penjaringan pada April mendatang. Kedepannya nanti akan ada tim khusus dari PKB yang menilai visi misi bakal calon gubernur DKI Jakarta. Dapat kita amati Pesaing Ahok dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Ahmad Dhani, mengatakan partai berbasis Islam yang mendukung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok adalah partai abal-abal atau HOAX.
Dhani melontarkan pernyataan ini atas tanggapan dari Ketua Fraksi PKB DPRD DKI Jakarta Hasbiallah Ilyas yang mengatakan bahwa Ahok merupakan salah satu nama yang dilirik PKB. Dhani menilai bahwa seorang Muslim seharusnya memilih pemimpin yang Muslim juga. Disini bernilai pola berpikir dhani lebih jauh memandang pada etnis.
Pengamat politik Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan bahwa yang bisa mengalahkan Ahok hanyalah kepala daerah yang sudah terbukti sukses di tempat lain. Misalnya adalah Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung), Risma (Wali Kota Surabaya), Azwar Anas (Bupati Banyuwangi), atau Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah).
Para calon yang ada saat ini banyak yang masih belum memenuhi syarat untuk menjadi gubernur Jakarta, meski mereka memiliki kemampuan yang berbeda di bidang masing-masing.
Arya Fernandes menilai, Gubernur DKI Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahja Purnama memiliki kekuatan personal. Kekuatan itulah yang bisa menjadi modal utama Ahok dalam menjaring suara warga DKI Jakarta.
Pilihan mantan Bupati Belitung Timur itu ini mengajak kalangan PNS sebagai wakilnya turut menjadi nilai tambah. Kekuatan kepribadian menurut Arya berdampak lebih kuat dari pada kekuatan kampanye dan lain sebagainya.
Andar Nubowo mengatakan bahwa Ahok sedang melakukan politik jilat lidah sendiri. Hal tersebut tercermin dari kedatangannya dalam acara peluncuran buku Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.Kedatangan Ahok dalam acara tersebut dianggapnya sebagai upaya meminta belas kasihan dari Megawati. Dia juga menduga tingkat kepercayaan diri Ahok mulai menurun dan mengawatirkan dukungan yang dimilikinya saat ini. Ahok menurutnya terlalu percaya diri dengan Teman Ahok. Perlahan tapi pasti, Andar melihat Ahok mengubah strategi dan kembali merapat ke partai.
Heri Budiyanto menilai karir politik Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok akan selesai jika tetap akan maju melalui jalur independen."Kalau dia (Ahok,-red) tetap independen, itu sama saja mematikan karir politiknya sendiri. Tidak mungkin dia kuat untuk benar-benar melalui jalur itu," ujarnya ketika diskusi di Cikini, Jakarta, Minggu (28/2/2016). Heri mengatakan saat ini, hanya partai politik yang mempunyai pondasi kuat untuk mengusung dan mendukung seorang kepala daerah. Jarang sekali kepala daerah yang dapat memenangi kontestasi pilkada melalui jalur Independen. Terlebih Ahok, yang menurutnya masih mempunyai peluang untuk dikalahkan oleh nama-nama yang sudah bermunculan saat ini.
Meski dikatakan oleh Heri, cukup berat, namun peluang penantang dapat dinilai besar. "Masih ada kesempatan mereka untuk menang di Pilkada DKI. Asalkan kendaraan partai mereka juga kuat," tambahnya. Mengenai adanya pengumpulan KTP yang dilakukan oleh Teman Ahok, Heri mengatakan hal tersebut sebuah langkah politik untuk mempunyai posisi tawar yang tinggi di mata partai. Sehingga sah saja untuk pengumpulan KTP warga DKI Jakarta. "Itu kan cuma dinamika politik saja, kalau nanti Ahok tidak dapat partai, maka dia bisa melalui jalur independen. Tapi ya konsekuensinya tidak akan menang," kata Heri.
Syamsuddin Haris  (Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)) Syamsuddin Haris menilai Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama semakin kuat dalam hal elektabilitas. Dia melihat bekas Bupati Belitung Timur itu akan menentukan sendiri siapa yang bakal menjadi pendampingnya di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 setelah dikunjungi Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil.
Menurut Haris, kedatangan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil kemarin dimaksudkan sebagai penjajakan. Keduanya katanya hanya bisa menawarkan kepada Ahok bila orang nomor satu di Jakarta itu ingin menggaet salah satu di antara kedua figur tersebut. “Ganjar dan Emil (Ridwan Kamil) sulit menandingi Ahok. Meski Emil populer dia belum tentu dipilih,” kata Haris.
Pada Pilkada 2012, Gubernur terpilih waktu itu Joko Widodo berpasangan dengan Ahok. Kedua pasangan ini diusung partai-partai seperti PDIP dan Gerindra. Haris melihat suasananya saat ini berbeda. Alasannya karena waktu itu lawannya hanya Fauzi Bowo. Sekarang, katanya Ahok yang lebih menentukan siapa yang bakal menjadi pendampingnya. “Ahok tidak ada lawan,” kata dia.
Ahok masih berkukuh maju lewat jalur independen meski dukungan sudah didapatnya dari Partai Nasdem, Hanura, dan PAN. Menurut Haris, dukungan dari Teman Ahok menjadi kunci bagi sang petahana agar dia mendapatkan dukungan lebih besar dari partai politik.




BAB IV
PENUTUP


Pada dasarnya Indonesia merupakan Negara yang telah merdeka atas penjajahan, dan menjadikan Indonesia sebagai Negara kesatuan Republik Indonesia dan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Negara ini juga menganut asas di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Bentuk dan wujud nyata dari demokrasi bangsa Indonesia saat ini adalah Pemilu yaitu pemilihan umum yang diselenggarakan pemerintah baik dalam pemilihan pemimpin Negara, wilayah, kota maupun daerah.
            Pemilihan Cagub DKI mendatangpun merupakan wujud nyata adanya demokrasi di Negara ini. Setiap warga negaranya berhak maju dan turut serta dalam pemilihan tersebut baik dalam memilih maupun maju sebagai calon pemimpin. Partai politik merupakan sarana dalam berlangsungnya pemilu. Independen merupakan jalur pencalonan non partai yang memang diakui oleh Negara demokrasi, karena pada dasarnya semua warga Negara berhak mencalonkan dirinya tanpa terkecuali asalkan ia mampu. Maka tidak peduli jalur mana yang calon pakai untuk menjadi pemimpin, yang terpenting siapa dan bagaimana calon tersebut dapat memimpin rakyatnya kearah yang lebih baik dan beradab. Partai dan Independen bukan tolak ukur mana yang lebih baik karena keduanya merupakan aspek politik, dimana politik tidak luput dengan kepentingan baik individu maupun Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik

Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengawasan Tahapan Pencalonan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati Serta Walikota dan Wakil Walikota

UU Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang

UU No 1 Th 2015 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota

UU Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

UU Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UU Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 131/PUU-XII/2015


Sumber
Wikipedia.org
metro.sindonews.com/read/1091417/171/pengamat-ahok-maju-independen-hanya-strategi-politik-1457439858











Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH PENULISAN FEATURE TENTANG TOKOH

TEKNOLOGI MASA DEPAN 2050